Laman

Sabtu, 14 April 2012

4 budaya baru indonesia

Siapapun tahu kalau Indonesia  adalah negara multikultural. berdasarkan referensi yang bertanggung jawab, kita mempunyai 17.480 Pulau, 750 Bahasa daerah, dan 1.128 suku bangsa. Dari angka-angka ini munculah wayang, tari kecak, sampai dengan debus.
Tapi apakah anda tau kebudayaan apalagi yang dimiliki Indonesia?? Here we go!
1. Budaya ngaret
Kebudayaan yang satu ini sudah seperti identitas dari bangsa ini. Budaya ini telah menyebar secara pelan tapi pasti. Semua orang pasti pernah di buat menunggu oleh teman/pacar/partner bisnis/dosen pembimbing skripsi, dan sejenisnya. Saya yakin, pasti masih ada orang-orang yang masih menghargai waktu. Tapi saya juga yakin, orang-orang ini lama kelamaan pasti bosan karena selalu dibuat menunggu. Nantinya, ketika mereka akan membuat janji dengan orang lain, mereka fikir mereka tidak harus datang tepat waktu, karena toh nantinya si orang ini juga bakal telat.
2. Budaya selalu-mau-tau-urusan-orang
Budaya ini tidak mungkin dipisahkan dari sifat dasar manusia, yaitu ”rasa penasaran”. Cerita tentang anak tetangga yang tiba-tiba pulang kerumah orangtuanya dengan status janda ini pasti akan lebih menarik daripada Cinta Fitri - season 6. Why bother? Padahal ada begitu banyak alasan perceraian, tapi para penganut budaya ini pasti lebih senang jika skenarionya tidak seperti itu. Lalu terjadilah proses brainstorming yang menghasilkan satu keputusan bulat: “dia pasti ga bisa ngasih keturunan”.
Cerita ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi dan hasil observasi dari penulis, maka hanya nama para pelaku yang akan disamarkan. Berikut adalah studi kasus nya…
Ibu Susi: eeehh, bu evi…. lama ga keliatan! Aduh, anak perempuannya udah jadi gadis ya sekarang. Kalo udah ketemu jodohnya cepetan diresmiin donk bu… biar nanti bu evi cepet dapet cucu juga.
Ibu Evi: iya nih, saya lagi sering nemenin suami diluar kota. ahh enggak kok bu, anak saya masih kecil. Lulus kuliah aja belom. Saya bilang sih dia pelan-pelan aja.
Ibu Susi: eh, bu Evi tau ga, anaknya bu Sari yang paling tua tinggal disini lagi lho bu… tapi dia pulang ga sama suaminya. Udah tiga minggu, tapi suaminya masih ga dateng-dateng juga.
Ibu Martha: gimana mau dateng!? orang mereka udah cere’! (cerai)
Kemaren saya mau beli odol di warungnya, eh terus keliatan dah tu si Nisa. Saya tanya kan, ‘lagi pada ngumpul bu anak-anak?’, terus die bilang, ’enggak bu, nisa-nya aja. Biasalah bu… masalah rumah tangga. Kalo emang jodoh mah pasti ga akan kemana bu’
Ibu Evi: sayang yaa…. padahal kan udah lama. Enam tahun ya kalo ga salah..
Ibu Susi: eh ngomong-ngomong mereka kan udah lama kawinnya, tapi masih belom dapet baby. Bukan maksudnya mau ngomongin tetangga lho bu, tapi kalo perempuan ga bisa ngasih keturunan pasti jadinya susah.
Mungkin mereka hanya menganggap ini sebagai pembicaraan ringan, tapi semakin saya perhatikan, saya semakin sadar bahwa memang seperti ini lah pola pikir bangsa kita. Hanya dengan satu kejadian dalam waktu yang singkat mereka sudah dapat menyimpulkan masalahnya. Dan jangan lupa, ini bahkan bukan masalah mereka.
Kemudian, mereka memberikan ’label baik’ dan ’label buruk’ ke orang tersebut.
3. Budaya copy-cat
Budaya ”ngikut” ini terjadi bukan karena efek dari globalisasi, melainkan hanya penyakit bangsa yang suka mengikuti apapun yang sedang populer pada saat itu.
Anda masih ingat ketika Meteor Garden (F4) sedang booming?
Tidak lama setelah itu salahsatu Production House juga membuat cerita yang sama. Saya tidak ingat judulnya, tapi yang saya ingat Indra L. Brugman dan Leony ’trio kwek-kwek’ menjadi salah satu pemainnya.
Bahkan sampai sekarang pun, jika anda memperhatikan, hampir semua sinetron memproduksi film dengan konflik yang hampir sama, ketika si miskin menyukai si kaya tapi tidak direstui oleh orangtua si kaya.
Begitu pula ketika sebuah film ber-genre rohani sedang booming. Di awali dengan film Hidayah, yang kemudian hampir semua stasiun tv dipenuhi dengan film-film serupa.
4. Budaya nelpon keras-keras di angkutan umum
Bagi anda yang sering menggunakan angkutan umum, pasti cukup sering melihat/mendengar perealisasian dari kebudayaan ini. Budaya yang satu ini informatif sekaligus annoying. Mengganggu karena harus ikut mendengar pembicaraan yang tidak penting dengan kata-kata yang diulang-ulang, karena lingkungan yang berisik. Contoh kasus:
Bapak-bapak: bu, itu tadi duitnya udah di transfer? Hah? Iyaa, tapi udah di transfer belom? Ga kedengeran nih! Hah? Ooh udah…. Iya nanti diambil sekalian. Hah? Masih di jalan. Hah?
Dan pembicaraan ini masih berlanjut selama tiga menit kedepan dengan nyaris mencapai 15 ’hah?’.
Selain itu, budaya ini juga memberikan efek informatif. Contohnya ketika saya sedang berada di bis dalam perjalanan pulang, seorang mas-mas sedang menelepon seorang perempuan dengan telepon yang di loudspeaker-kan. Jadi, sebagian besar penumpang dapat mendengar pembicaraan dua arah ini. Berikut adalah potongan kecil dari pembicaraan mereka:
Perempuan: mas, aku lagi kangen nih…
Mas-mas: iya sayaaang, aku juga kangen. Tapi kan ntar lebaran aku pulang.
Perempuan: mas, kok teleponnya berisik sih? Ga ada sinyalnya ya?
Mas-mas: biarin aja sayang, mungkin yang jaga satelitnya iri ngedengerin kita pacaran, jadinya teleponnya dibikin berisik.
Well…. Kalau bukan karena mas-mas ini, mungkin sampai sekarang saya tidak pernah tahu kalau satelit kita selama ini dijaga orang.

1 komentar: