Siapapun tahu kalau
Indonesia adalah negara multikultural. berdasarkan referensi yang
bertanggung jawab, kita mempunyai 17.480 Pulau, 750 Bahasa daerah, dan
1.128 suku bangsa. Dari angka-angka ini munculah wayang, tari kecak,
sampai dengan debus.
Tapi apakah anda tau kebudayaan apalagi yang dimiliki Indonesia?? Here we go!
1. Budaya ngaret
Kebudayaan yang satu
ini sudah seperti identitas dari bangsa ini. Budaya ini telah menyebar
secara pelan tapi pasti. Semua orang pasti pernah di buat menunggu oleh
teman/pacar/partner bisnis/dosen pembimbing skripsi, dan sejenisnya.
Saya yakin, pasti masih ada orang-orang yang masih
menghargai waktu. Tapi saya juga yakin, orang-orang ini lama kelamaan
pasti bosan karena selalu dibuat menunggu. Nantinya, ketika mereka akan
membuat janji dengan orang lain, mereka fikir mereka tidak harus datang
tepat waktu, karena toh nantinya si orang ini juga bakal telat.
2. Budaya selalu-mau-tau-urusan-orang
Budaya ini tidak
mungkin dipisahkan dari sifat dasar manusia, yaitu ”rasa penasaran”.
Cerita tentang anak tetangga yang tiba-tiba pulang kerumah orangtuanya
dengan status janda ini pasti akan lebih menarik daripada Cinta Fitri -
season 6. Why bother? Padahal ada begitu banyak alasan
perceraian, tapi para penganut budaya ini pasti lebih senang jika
skenarionya tidak seperti itu. Lalu terjadilah proses brainstorming yang menghasilkan satu keputusan bulat: “dia pasti ga bisa ngasih keturunan”.
Cerita ini ditulis
berdasarkan pengalaman pribadi dan hasil observasi dari penulis, maka
hanya nama para pelaku yang akan disamarkan. Berikut adalah studi kasus
nya…
Ibu Susi: eeehh, bu
evi…. lama ga keliatan! Aduh, anak perempuannya udah jadi gadis ya
sekarang. Kalo udah ketemu jodohnya cepetan diresmiin donk bu… biar
nanti bu evi cepet dapet cucu juga.
Ibu Evi: iya nih, saya lagi sering nemenin suami diluar kota. ahh enggak kok bu, anak saya masih kecil. Lulus kuliah aja belom. Saya bilang sih dia pelan-pelan aja.
Ibu
Susi: eh, bu Evi tau ga, anaknya bu Sari yang paling tua tinggal disini
lagi lho bu… tapi dia pulang ga sama suaminya. Udah tiga minggu, tapi
suaminya masih ga dateng-dateng juga.
Ibu Martha: gimana mau dateng!? orang mereka udah cere’! (cerai)
Kemaren
saya mau beli odol di warungnya, eh terus keliatan dah tu si Nisa. Saya
tanya kan, ‘lagi pada ngumpul bu anak-anak?’, terus die bilang, ’enggak
bu, nisa-nya aja. Biasalah bu… masalah rumah tangga. Kalo emang jodoh
mah pasti ga akan kemana bu’
Ibu Evi: sayang yaa…. padahal kan udah lama. Enam tahun ya kalo ga salah..
Ibu Susi: eh ngomong-ngomong mereka kan udah lama kawinnya, tapi masih belom dapet baby. Bukan maksudnya mau ngomongin tetangga lho bu, tapi kalo perempuan ga bisa ngasih keturunan pasti jadinya susah.
Mungkin
mereka hanya menganggap ini sebagai pembicaraan ringan, tapi semakin
saya perhatikan, saya semakin sadar bahwa memang seperti ini lah pola
pikir bangsa kita. Hanya dengan satu kejadian dalam waktu yang singkat
mereka sudah dapat menyimpulkan masalahnya. Dan jangan lupa, ini bahkan
bukan masalah mereka.
Kemudian, mereka memberikan ’label baik’ dan ’label buruk’ ke orang tersebut.
3. Budaya copy-cat
Budaya
”ngikut” ini terjadi bukan karena efek dari globalisasi, melainkan hanya
penyakit bangsa yang suka mengikuti apapun yang sedang populer pada
saat itu.
Anda masih ingat ketika Meteor Garden (F4) sedang booming?
Tidak lama setelah itu salahsatu Production House
juga membuat cerita yang sama. Saya tidak ingat judulnya, tapi yang
saya ingat Indra L. Brugman dan Leony ’trio kwek-kwek’ menjadi salah
satu pemainnya.
Bahkan
sampai sekarang pun, jika anda memperhatikan, hampir semua sinetron
memproduksi film dengan konflik yang hampir sama, ketika si miskin
menyukai si kaya tapi tidak direstui oleh orangtua si kaya.
Begitu
pula ketika sebuah film ber-genre rohani sedang booming. Di awali dengan
film Hidayah, yang kemudian hampir semua stasiun tv dipenuhi dengan
film-film serupa.
4. Budaya nelpon keras-keras di angkutan umum
Bagi
anda yang sering menggunakan angkutan umum, pasti cukup sering
melihat/mendengar perealisasian dari kebudayaan ini. Budaya yang satu
ini informatif sekaligus annoying. Mengganggu
karena harus ikut mendengar pembicaraan yang tidak penting dengan
kata-kata yang diulang-ulang, karena lingkungan yang berisik. Contoh
kasus:
Bapak-bapak:
bu, itu tadi duitnya udah di transfer? Hah? Iyaa, tapi udah di transfer
belom? Ga kedengeran nih! Hah? Ooh udah…. Iya nanti diambil sekalian.
Hah? Masih di jalan. Hah?
Dan pembicaraan ini masih berlanjut selama tiga menit kedepan dengan nyaris mencapai 15 ’hah?’.
Selain
itu, budaya ini juga memberikan efek informatif. Contohnya ketika saya
sedang berada di bis dalam perjalanan pulang, seorang mas-mas sedang
menelepon seorang perempuan dengan telepon yang di loudspeaker-kan.
Jadi, sebagian besar penumpang dapat mendengar pembicaraan dua arah
ini. Berikut adalah potongan kecil dari pembicaraan mereka:
Perempuan: mas, aku lagi kangen nih…
Mas-mas: iya sayaaang, aku juga kangen. Tapi kan ntar lebaran aku pulang.
Perempuan: mas, kok teleponnya berisik sih? Ga ada sinyalnya ya?
Mas-mas: biarin aja sayang, mungkin yang jaga satelitnya iri ngedengerin kita pacaran, jadinya teleponnya dibikin berisik.
Well….
Kalau bukan karena mas-mas ini, mungkin sampai sekarang saya tidak
pernah tahu kalau satelit kita selama ini dijaga orang.
ayo,..bjangan hilangkan budaya asli indonesia,..
BalasHapus